….berikut beberapa pendapat tentang SAS dibeberapa situs….

1.) DKI sibuk dengan SAS,abai dengan KTSP dan MBS

Sejak 6 bulan yang lalu,Dikmenti Dinas Pendidikan Prov DKI Jakarta, telah mewajibkan semua SMA di Jakarta untuk mengadopsi SAS (sistim administrasi sekolah) tanpa menyiapkan SDM dan infrastrukturnya. Akibatnya server “hang” – ada 428 SMA x 200 siswa x 10 mata pelajaran – kekacauan data base menjadi mala petaka untuk siswa. Ada yang waktu di-entry, nilainya 6, tapi keluar print outnya 3,3 dan kesalahan tak bisa diperbaiki. Lalu tujuan komputerisasi apa kalau masih menolerir adanya kesalahan yang tak perlu?Belum lagi untuk mengatasi padatnya lalu lintas info, maka jam akses dibatasi. Kalau begitu, lebih baik data-data itu disimpan saja di TU masing-masing sekolah, hemat, praktis, efisien dan cepat saji (tak dibatasi jam akses). Yang lebih penting, SAS itu melanggar azas otonomi sekolah dan otonomi guru. Penyeragaman dan kendali satu tangan juga menyalahi prinsip-prinsip dari KTSP (yang dikukuhkan dengan Permen no. 22, 23 dan 24) dan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang dikukuhkan dengan PP no. 19 tahun 2007. Dalam KTSP sudah ada program komputerisasi yang jauh lebih canggih dari SAS, yaitu pada Dokumen II KTSP langkah ke 15 (penilaian berbasis kelas) dan langkah ke 16 (catatan kompetensi). Jadi jelas-jelas SAS itu merusak jiwa dari KTSP.

Dalam KTSP, guru adalah konseptor dan inisiator, sedangkan dalam SAS, guru diturunkan derajatnya menjadi sekedar adminsitrator, bahkan lebih rendah lagi, guru menjadi sekedar petugas data entry. Akibatnya semangat UU Guru dan Dosen (yang berupaya meletakkan dasar bagi penyetaraan guru dan dosen) menjadi kacau. Jiwa dari ketentuan “Sekolah Mandiri” yang telah dirumuskan oleh BNSP juga menjadi kacau, karena semua masalah kembali ditangani oleh Dikmenti Dinas Pendidikan. Kok tidak ada yang teriak tentang pembodohan yang terjadi di DKI ini. Demi proyek (SAS ini tidak gratis), semua aturan dan kaidah dilanggar. Kasar sekali cara mencari uangnya. (Sumber : http://forum.kompas.com/showthread.php?t=384)
2.) SAS, Perusak KTSP buatan Dikmenti Dinas Pendidikan DKI
Meskipun Pemerintah Pusat telah meletakkan dasar agar guru mumpuni seperti dosen lewat UU Guru dan Dosen (antara lain agar mampu membuat kurikulum sendiri, seperti dosen) dengan KTSP yang dikukuhkan oleh Permen no. 22, 23 dan 24, bahkan Pemerintah telah meletakkan dasar-dasar perbaikan manajemen yang dikukuhkan dengan PP. no. 19 tahun 2007, namun Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta tetap mewajibkan semua SMA di DKI untuk mengadopsi SAS (sistim administrasi sekolah) yang tidak gratis. Padahal semua kondisi yang ada di SAS sudah ada di KTSP dengan program komputer yang lebih canggih, bukan yang asal-asalan seperti SAS.
😕 Kenapa SAS disebut asal-asalan? Karena guru dapat dengan mudah membeli peta konsep, indikator dan silabus dari Penerbit Yudhistira atau dari toko buku – sedangkan dalam KTSP, guru harus mengikuti 16 langkah penyusunan KTSP secara benar, sebelum dapat melakukan evaluasi dan mengisi rapor (Langkah ke 15 : Penilaian Berbasis Kelas dan Langkah ke 16 Catatan Kompetensi). Tak ada short cut atau contek dari silabus orang lain. Langkah 1 merupakan pre-requisite dari langkah ke 2 dst.nya. KTSP juga terdiri dari Dokumen I dan Dokumen II Yang merupakan penjabaran visi dan misi sekolah dalam kegiatan operasional sehari-hari. Dengan demikian, dalam KTSP, derajat guru adalah konseptor dan inisiator, sedangkan dalam SAS, guru diturunkan pangkatnya menjadi sekedar petugas adminstrasi, bahkan lebih buruk lagi, menjadi sekedar petugas data entry.

Masalahnya adalah, data siswa yang begitu banyak dalam SAS (420 SMA x 200 siswa x 10 mata pelajaran) bisa membuat server “hang”, lalu solusinya adalah : jam akses dibatasi. Kalau hari dan jam akses dibatasi (ingat program ini tidak gratis), maka jauh lebih baik kalau data-data itu dikumpulkan saja di TU masing-masing sekolah, praktis, ekonomi dan cepat saji. Belum lagi masalah kekacauan data base. Nilai yang di-entry 6, bisa keluar di print out 3,3.
Dan kesalahan ini tak bisa diperbaiki. Atau seluruh data harus di re-check lagi> belum lagi kerusakan yang terjadi pada pengertian hakekat dari KTSP dan MBS, yang menjunjung tinggi azas otonomi sekolah dan otonomi guru (yang telah dimapulasi oleh Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta). Ah, jaman reformasi ini kok masih ada mental proyek, intruksi penyeragaman dan perintah untuk mengikuti satu garis komando. Bravo untuk SMA Kanisius, SMA Santa Ursula, SMA SangTimur dan SMA N 13, yang tidak mau mengikuti SAS 😉 Proyek pembodohan dari DKI (Sumber: http://www.forumpendidikan.com/viewtopic.php?p=3375&sid=880a1d0a79a42a13f17b0120892bb0d8)
3.) SAS,sistim informasi gegabah yang menindas otonomi
Telah enam bulan ini Suku Dinas Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta mewajibkan semua SMA di DKI Jakarta untuk mengadopsi SAS (sistim administrasi sekolah) (yang tidak gratis). Setelah buku paket ditiadakan (buku pelajaran tak lagi boleh diproyekkan), maka Dinas Pendidikan seperti lesu darah, lalu cari-cari proyek apa saja, asal bisa menghasilkan duit. Di Prov. DKI Jakarta, Suku Dinas Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta, telah memaksa semua SMA untuk menggunakan SAS (sistim administrasi sekolah)(yang tidak gratis) – akibatnya begitu banyak data terkumpul sehingga server kerap “hang”.
Bayangkan ada 420 SMA di DKI x 200 siswa x 12 mata pelajaran – Data base jadi kacau, lalu jam akses sekolah dibatasi hari dan jamnya ! Sudah terjadi, nilai yang di-entry 6, keluar di print out 3,3 dan lucunya kesalahan tak bisa diperbaiki. Kalau begitu caranya, kan lebih baik kalau data itu disimpan saja di TU masing-masing sekolah – hemat, praktis, efisien dan tak ada celah untuk kesalahan memasukkan nilai.
Ada hal yang lebih serius :
1. SAS telah melanggar azas otonomi sekolah dan otonomi guru – penyeragaman sistim dan kendali satu tangan telah merusak jiwa dari reformasi yang telah digulirkan melalui UU Sisdiknas
2. SAS telah menurunkan derajat guru menjadi sekedar petugas administrasi bahkan lebih buruk lagi, guru diturunkan derajatnya menjadi hanya sekedar petugas data entry. Padahal dalam KTSP, guru adalah konseptor dan inisiator yang pangkatnya hendak diangkat sederajat dengan dosen melalui UU Guru dan Dosen. Akibatnya bila guru menekuni SAS, dapat dipastikan guru yang bersangkutan tak akan lolos dalam program sertifikasi guru yang mengharuskan guru menjadi seorang pendidik, seorang yang terus menimba ilmu, seorang pengabdi masyarakat dan seorang seseorang yang secara psikologis matang (mampu membimbing siswa)
3. SAS menabrak aturan diatasnya, yaitu KTSP (yang disusun berdasarkan Permen no. 22, 23 dan 24 tahun 2006) dan MBS (manajemen berbasis sekolah – yang dikukuhkan lewat PP no. 19 tahun 2007) serta program Sekolah Mandiri (yang diluncurkan bersamaan dengan program PADU)
4. SAS telah merusak jiwa KTSP, dimana guru dituntut untuk bisa membuat kurikulum sendiri seperti dosen, karena SAS memungkinkan guru untuk menyalin (copy paste) peta konsep, indikator dan silabus (bahkan soal-soal) dari penerbit Yudhistira atau beli dari toko buku – tak ada mekanisme kontrol, seperti halnya kalau seorang guru menyusun KTSP yang terdiri dari Dokumen I dan Dokumen II (lihat website Depdiknas : http://www.depdiknas.go.id lalu klik KTSP
5. SAS dipaksakan dengan cara-cara preman – Sekolah yang tak ikut SAS, tak boleh ikut UN atau Sekolah yang tak mau ikut SAS, akan dikeluarkan dari sistim. Preman bener !
6. SAS merupakan copy paste dari SSCI (sistim sekolah cerdas Indonesia) yang telah gagal diterapkan 10 tahun yang lalu. Dikmenti DKI Jakarta menganggap semua guru itu sudah pikun
7. SAS telah merusak harga diri guru, karena guru diperlakukan sebagai buruh, yang tak punya hak suara. Banyak guru telah menempuh pendidikan sampai S-2 dan telah banyak ikut penataran di luar negeri (terutama guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI), tapi dihadapan Dikmenti – mereka semua dianggap katrok dan gaptek
8. KTSP itu memerlukan program komputer yang canggih, terutama untuk langkah ke 15 (Penilaian Berbasis Kelas) dan langkah ke 16 (Catatan Kompetensi) – SAS itu menggampangkan masalah
9. Bravo untuk SMA Kanisius, SMA Santa Ursula, SMA Sang Timur dan SMA N 13 Jakarta yang telah berani menolak SAS. Ini bukan masalah komputerisasi, tapi masalah visi, mau dibawa kemana sekolah kita? Setelah ada UU Guru dan Dosen yang mewujud dalam Program Sertifikasi Guru, lalu ada MBS yang mengacu pada pola Sekolah Mandiri dan menjamurnya sekolah-sekolah bertaraf internasional (SBI), dan kemudian ada uji coba SKS (sistim kredit semester) di SMA N 78 dan SMA Santa Ursula – untuk apa SAS yang membodohi guru dan publik? Mahal lagi ! (Sumber:http://www.duniaguru.com/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=89&func=view&id=67&catid=9)
4.) SAS, sistim informasi gegabah yang menindas otonomi sekolah
Sudah 6 bulan SAS (sistim administrasi sekolah) telah dipaksakan pemberlakuannya (tidak gratis) oleh Dikmenti Dinas Pendidikan Prov DKI Jakarta. Efeknya telah merusak hakekat dari KTSP (kemampuan untuk menyusun kurikulum yang dilandasi oleh Permen no. 22, 23 dan 24 tahun 2006) dan MBS (manajemen berbasis sekolah yang dilandasi oleh PP no. 19 tahun 2007). Tapi tak ada yang teriak,mau apa dengan proyek SAS ini ? Karena :
1. Otonomi guru telah dilanggar – dalam KTSP guru adalah inisiator dan konseptor, sedangkan dalam SAS, guru telah diturunkan derajatnya menjadi sekedar administrator, bahkan lebih buruk lagi, menjadi sekedar petugas data entry. Kenapa ?
2. Indikator yang disusun oleh setiap guru berbeda, akibatnya penilaian (evaluasi) juga berbeda-beda. Lalu untuk apa hasilnya dikumpulkan? Bukankah hasil ini tak dapat dianalisis? Sebab nilai 8 di SMA Santa Ursula akan sangat berbeda dengan dengan nilai 8 di SMA 8 Bukit Duri – so what gitu lho?
3. Data SAS yang dikumpulkan akan begitu banyaknya sehingga server bisa hang (ada 428 SMA kali 300 siswa kali 12 mata pelajaran dengan varian kelas X; kelas XI IPS,IPA dan Bhs; kelas XII IPS, IPA dan Bhs – apa mungkin servernya menampung begitu banyak data tanpa distorsi? Dan ini sudah sering terjadi, guru memasukkan data A, yang keluar adalah BCD dll Anehnya, kesalahan ini tak bisa dikoreksi lagi (artinya, kesalahan tak bisa ditelusur ditengah jutaan data yang ada)
4. Kalau disadari server bisa hang, lalu apakah solusinya : akses tiap SMA dibatasi hari dan jamnya? Kalau begitu lebih efektif kalau data itu dikumpulkan oleh TU masing-masing sekolah saja, murah, efisien dan efektif. Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta tak usah repot memunguti dana dari tiap SMA dan semua berjalan normal (business as usual). Bagaimana kalau pada hari dan jam yang ditentukan untuk akses, ternyata server tak bisa diakses? (seperti yang selama ini terjadi). Ah, proyek ya proyek, tapi bermainlah yang cantik, jangan korbankan siswa dan jangan langgar aturan di atasnya (Permen no. 22, 23 dan 24 serta PP no. 19 tahun 2007). Pada jaman reformasi ini, sudah sangat layak kalau tak ada penyeragaman dan perintah top down (instruksi). Pintu demokrasi telah dibuka, juga dalam dunia pendidikan. Jangan itu dirusak oleh ulah segelintir oknum yang tergiur proyek, lebih-lebih dengan memunguti dana dari sekolah. Kalau ada kesalahan, bisa masuk KPK lho (
Wendie Razif Soetikno)
saya setuju ttg pendapat anda, tapi ada yang saya tidak setuju yaitu :Otonomi guru telah dilanggar – dalam KTSP guru adalah inisiator dan konseptor, sedangkan dalam SAS, guru telah diturunkan derajatnya menjadi sekedar administrator, bahkan lebih buruk lagi, menjadi sekedar petugas data entry. Kenapa ? sebenarnya otonomi guru tidak dilanggar dalam hal ini, karena program SAS
dimaksudkan untuk membantu para guru untuk menghitung, masukkan nilai, contoh ada pemeriksaaan, kita harus buka buku tahun ajaran sehingga merepotkan, jika pada software SAS tinggal masukkan nomor induk siswa langusng muncul data, foto, nilai sehingga tidak memusingkan.
Setiap manusia pasti punya kesalahan, sehingga dalam menghitung pun apsti ada kesalahan, sehingga penghitungan dibantu oleh komputer, kita liat saja diluar negeri smuanya serba AUTO, jika kita tidak menggunakan kapan negara ini bisa maju dan para guru dapat ketinggan dalam bidang
Teknologi informasi.

jika soal serveng hang setahu saya lebih baiklah pakai yang bagus seperti server SQL SERVER lebih baik dibandingkan MySQL dan lainnya.

soal itu kembali pada kita sendiri.bagaimana kita mengaturnya

(krisna_sma)

Saya prihatin dengan jawaban Bapak karena berarti hakekat dari KTSP tak dipahami :
sebenarnya otonomi guru tidak dilanggar dalam hal ini, karena program SAS dimaksudkan untuk membantu para guru untuk menghitung, masukkan nilai, contoh ada pemeriksaaan, kita harus buka buku tahun ajaran sehingga merepotkan, jika pada software SAS tinggal masukkan nomor induk siswa langusng muncul data, foto, nilai sehingga tidak memusingkan. Dalam KTSP (Dokumen II langkah ke 15 ada PBK (Penilaian Berbasis Kelas) dan langkah ke 16 ada Catatan Kompetensi. Kedua langkah ini memerlukan program komputer yang otonom dan jauh lebih canggih dari SAS. Kenapa KTSP lebih bagus dari SAS? Karena guru tak sekedar menjadi petugas data entry, tapi sungguh-sungguh seorang konseptor, sehingga tujuan UU Guru dan Dosen akan tercapai (guru dan dosen dianggap setara) = guru harus bisa membuat kurikulum sendiri (bukan beli silabus dari penerbit Yudistira) dan bisa menyusun alat evaluasi sendiri yang relevan dengan kondisi sekolahnya (sama seperti dosen). Kalau guru lokal sekedar membebek ikut SAS (yang tidak gratis), kapan guru lokal bisa bersaing dengan guru-guru asing yang mengajar di sekolah-sekolah internasional di Jakarta? Mereka bergaji besar karena kemampuannya menyusun kurikulum sendiri dan sistim evaluasi yang canggih.

Hal yang parah adalah, SAS tidak ada dasar hukumnya, sedangkan KTSP dibuat berdasarkan Permen no. 22, 23 dan 24 tahun 2006. Dan lagi SAS itu mengacaukan hakekat dari MBS (manajemen berbasis sekolah) yang disusun berdasarkan PP no. 19 tahun 2007. Come on baby, jangan jadi sapi perahan Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta – ikutilah SMA Kanisius, SMA Santa Ursula, SMA sang Timur dan SMA N 13 yang tak mau pakai SAS – Ini bukan masalah komputerisasi tapi masalah visi, mau dibawa kemana SMA kita? (
Wendie Razif Soetikno) Sumber:http://www.forumpendidikan.com/viewtopic.php?p=3333&sid=1a92ae5515077a4cd5067e20bd0aebdb