Olrh: Hevi Suhendi

Sebagai sebuah profesi yang terhormat di masyarakat (officium nobile), guru memiliki peran yang sangat vital dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) suatu bangsa, dan Bisa dibayangkan bagaimana jadinya keberlangsungan suatu bangsa jika tidak ada yang namanya guru? Negara sekelas Jepang-pun dalam kesejarahannya hingga mampu menjadi negara maju, juga tidak bisa dilepaskan oleh keyakinannya tentang vitalnya peranan seorang guru (tragedi Nagasaki dan Hirosima). Tidak hanya Jepang, Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia, juga menaruh perhatian yang serius terhadap tenaga pendidik, salah satunya dengan memberikan penghargaan yang proporsional kepada guru karena untuk memasuki profesi keguruan diperlukan persyaratan khusus yang tidak mudah diperoleh begitu saja. (Hadiyanto, 2004)

Berbeda dengan Jepang, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia menjadi seorang guru bukan lagi sesuatu yang membanggakan, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa pada tahun 1960-an, profesi guru masih cukup menjadi kebanggaan, paling tidak, merasa bangga menjadi anak dari bapak dan ibu guru. Namun demikian, kebanggaan itu sekarang tidak dapat dipertahankan karena pengghargaan masyarakat dan pemerintah terhadap profesi guru masih hanya sekedar untuk hidup “pas-pasan’, gali lobang tutup lobang’ “gaji sebulan dimakan satu hari” atau kalau menurut Iwan Falls menyebutnya guru ‘Umar Bakri’ yang sejak jaman Jepang atau empat puluh tahun mengabdi dan telah banyak menciptakan Menteri tetapi bernasib tragis, hanya mampu naik sepeda kumbang butut.

Menjadi guru di bumi pertiwi ini, memang tidaklah sesulit seperti di Amerika bahkan Australia. Cukup dengan berbekal ijazah S1 pendidikan dan dengan dibekali Akta mengajar sudah bisa diterima menjadi guru, tidak hanya itu, ternyata ijazah non pendidikanpun juga bisa diterima menjadi seorang guru tentu ironis bukan? Meskipun hari ini Undang-undang guru dan dosen menggariskan bahwa seorang guru wajib memiliki sertifikasi, pada kenyataannya terkesan hanya profesionalisme yang komersil dan hanya memotivasi seorang guru secara sesaat saja.

Banyak fakta yang menggambarkan bahwa ketika awal mengajar (menjadi guru GTT) lebih karena dorongan orientasi minimalis yaitu pokoknya mengajar dulu, meskipun honornya tidak seberapa yang penting ada kegiatan dan maksimal masuk di data base guru honorer, ya minimal ada peluang untuk memudahkan menjadi guru difinitif (guru PNS), bahkan tidak sedikit yang harus membayar sekedar bisa menjadi seorang guru honorer di suatu sekolah tertentu. Pilihan ini tentunya banyak sedikitnya telah menyumbangkan pola relasi yang seringkali tidak adil di persekolahan, eksploitasi dan diskriminasi acapkali dialami oleh seorang GTT.

Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap tahunnya perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang memiliki Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) selalu meluluskan ribuan sarjana pendidikan. Dengan demikian, seiring dengan itu maka jumlah sarjana pendidikan di Indonesia mengalami penambahan yang begitu cepat namun realitas ini berbanding terbalik dengan volume pengangkatan atau rekruitmen guru yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah sendiri sangat memahami bahwa masih banyak sekolah-sekolah yang membutuhkan guru, namun minimnya anggaran yang ada menjadi alasan untuk melakukan rasionalisasi dalam rekruitmen tenaga pendidik.
Fenomena di atas telah melahirkan dampak positif dan negatif bagi pendidikan di Indonesia. Dampak positifnya adalah iklim kompetitif antar lulusan FKIP menjadi kenyataan yang tak terbantahkan, terlepas apakah kompetisi antar lulusan berdasarkan kompetensi ataukah tidak (ada indikasi KKN)? Yang pasti rekruitmen yang diselenggaran melalui ujian merupakan sebuah upaya untuk menjaring para tenaga pendidik yang berkualitas. Sedangkan dampak negatifnya adalah mereka yang gagal dalam seleksi guru PNS masih berharap banyak untuk bisa diterima pada rekruitmen di lain waktu sehingga banyak diantara mereka meluangkan waktunya untuk memilih menjadi guru non PNS/ guru honorer/ Guru tidak tetap (GTT).
Fenomena guru tidak tetap (GTT) di berbagai daerah, secara umum memiliki problematika yang relative sama yakni kerentanan dalam menjalankan kinerjanya sebagai seorang guru bahkan tidak jarang diantara mereka harus dipecat secara sepihak oleh pihak yayasan karena lemahnya status yang mereka miliki. Meskipun demikian fenomena guru tidak tetap setiap tahunnya menunjukkan penambahan yang signifikan di berbagai daerah. Lantas bagaimanakah mereka (GTT) dalam menjalankan profesinya sebagai seorang guru?

Hasil FGD yang dilakukan oleh Jaringan Aksi Peduli Pendidikan (JAPP) menemukan banyak sekali bentuk-bentuk pelanggaran terhadap guru tidak tetap di setiap sekolah. Pelanggaran tersebut seperti diskriminasi antara guru PNS dan Guru non PNS dalam konteks kebijakan sekolah, pemecatan secara sepihak oleh yayasan, jam mengajar yang di nol- kan hingga honor yang jauh dibawah UMR.

Diantara banyak persoalan yang dialami oleh GTT, honor yang jauh dari rasa kemanusian menjadi kenyataan yang banyak terjadi di berbagai daerah. Di Mungkit, Magelang, guru wiyata bakti (honorer) menerima gaji yang nilainya sangat melecehkan dan sangat tidak manusiawi, berkisar Rp. 15.000 sampai dengan Rp. 50.000,-perbulan (http:// http://www.indomedia.com/bernas/2012/12/UTAMA/12mgl.htm). Sedangkan hasil studi tentang para guru PNS di SD, SLTP dan SLTA di Bengkulu menunjukkan bahwa hamper seluruh guru (94,25%) menganggap gaji dan profesi kurang mencukupi kebutuhan hidupnya hidunya (Husin dan Sasongko, 2002). Meski gaji guru SD lulusan PGSD dengan golongan II/b sebesar Rp. 667.300,- perbulan diatas UMP (upah Minimum Provinsi), namun harga kebutuhan sembako relative tinggi dan terus melonjak. Akibatnya, pengeluaran adalah tidak seimbang dengan pendapatan.

Bisa kita banyangkan kalau guru PNS saja dengan gaji yang jauh lebih tinggi dari honor guru tidak tetap masih belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, apalagi seorang GTT yang juga memiliki istri, anak misalnya harus hidup dengan honor sebesar Rp. 15.000,- sampai Rp.50.000,- perbulannya? Pasti tekor terus…!Kondisi yang demikian akhirnya memaksa kebanyakan dari mereka harus mencari pekerjaan sampingan untuk bisa mencukupi kebutuhan dasarnya seperti menarik ojek dll. Kalau sudah demikian keadaanya maka sulit kita bayangkan bagaimana seorang GTT akan menjalani profesinya, sebagai tugas yang mulia? Bagaimana seorang GTT menyiapkan rencana pembelajarannnya? Bagaimana seorang GTT termotivasi untuk terus melakukan peningkatan kapasitas terhadap dirinya? Dan yang lebih memprihatinkan lagi bagaimana nasib peserta didiknya?

Sumber: siap-bos