Ini kisah di negeri ‘jauh’, negara tetangga kita yang memiliki latar belakang sejarah kolonialisme yang hampir mirip, negara yang dulu pernah bersatu dengan negara kita namun karena satu dan lain hal akhirnya memilih memisahkan diri dan memiliki kedaulatan sendiri.
sebuah rumah yang ditemui dalam perjalanan ke dili

Bumi Lorosae begitu dekat tetapi jauh. Dekat karena letaknya di timur Pulau Timor, berbatasan dengan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jauh karena untuk menuju ke sana orang harus berbekal paspor dan membayar visa yang tak sedikit, 30 USD. Padahal, bagi orang Timor Barat, orang Timor Leste adalah saudara. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa yang sama, paras tubuh pun serupa, makanan dan cara hidup pun tak banyak berbeda.

Yang membedakan mereka hanyalah yang satu warga negara Indonesia, yang lain warga negara Timor Leste. Yang satu paspornya berwarna hijau tua, yang lain coklat. Yang satu politik luar negerinya mengacu pada asas non-blok, yang lain berkiblat pada Portugal. Yang satu negeri miskin dengan milyaran dolar hutang luar negeri, yang lain bergantung total pada bantuan Umniset dan luar negeri untuk mempertahankan pemerintahannya.

Suatu senja dalam perjalanan dari Atambua menuju Dili, kami melintasi perkampungan yang menjual pisang, cabe, tomat, kacang, dan ikan segar. Majikan saya, Francisco Lee –orang kelahiran Viqueque keturunan Cina-Portugis yang berpaspor Australia– tertarik dengan ikan sebesar paha orang dewasa yang dipampang di pinggir jalan.

“Berapa ?” tanyanya dalam bahasa tetum.

“Sanulu-resin-lima,” jawab si penjual yang artinya 15 dolar Amerika.

Tawar menawar pun terjadi. Dari harga 5 dolar, Om Fran -panggilan akrabnya- akhirnya menaikkan tawarannya hingga 12 dolar. Namun si penjual tak sedikitpun menurunkan harga, membuat Om Fran geram.

“Kau tahu”, kata si om tinggi besar itu, “kalau aku tak membeli ikan itu, tak seorang pun mau membelinya. Sebentar lagi ikanmu akan membusuk dan kau terpaksa membuangnya.”

Namun penjual ikan itu tak bergeming dan Om Fran terpaksa meninggalkannya dengan tangan kosong dan sumpah serapah.

Saya tak tahu apakah itu bentuk kepala batu atau kecerdasan orang Timor Leste. Bisa jadi, pikir saya ketika itu, pemiliknya akan memasak dan memakan sendiri ikannya kalau tak laku dijual. Atau mungkin akan mengeringkannya untuk dijual sebagai ikan asin? Entahlah, karena ikan asin yang dijual di pasar-pasar tradisional Dili diimpor langsung dari Kupang. Orang Indonesia yang membuat ikan asin itu, bukan orang Timor Leste.

Sifat kepala batu ini nantinya akan banyak saya temui ketika tinggal dan bekerja di Dili. Sifat ini yang membuat banyak lembaga internasional seperti LSM dan Umniset geleng-geleng kepala, nyaris putus asa, ketika menawarkan program pembaharuan di berbagai bidang. Sifat ini yang membuat majikan saya, Francisco Lee, sering marah-marah kepada bawahannya. Mungkin sifat ini pula yang membuat bangsa Timor terseok-seok mengejar ketinggalannya. Di tengah alam negerinya yang eksotik, Timor Leste masih tenggelam dalam mimpi-mimpinya. Negeri ini masih hidup di dalam abad pertengahan.

Sumber: Kompasiana