22/04/2008 05:31:01

YOGYA (KR) – Sistem pendidikan nasional belum menyentuh perpaduan antara akhlak yang karimah (baik) dan ilmu. Keduanya, harus berjalan beriringan untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Namun kenyataannya, sistem pendidikan nasional dalam implementasinya belum begitu menyentuh perpaduan keduanya.

“Dalam pemberlakuan ujian nasional misalnya, hanya menetapkan enam materi pelajaran (Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, matematika, fisika, kimia, biologi untuk program IPA dan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, matematika dasar, akuntansi, ekonomi untuk program IPS sebagai dasar kelulusan, belum melibatkan nilai-nilai akhlak sebagai faktor penentu kelulusan. Hal ini menunjukkan, sistem pendidikan yang ada masih sekadar transformasi ilmu pengetahuan dan keterampilan, belum memperhatikan transformasi dan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam diri siswa didik,” ujar Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Dra Juwariyah MAg saat mempresentasikan disertasinya untuk memperoleh gelar Doktor bidang ilmu agama Program Pascasarjana (PPs) UIN Sunan Kalijaga, Jumat (18/4).

Disertasinya yang berjudul Nilai Pendidikan dalam Syair Imam Syafii dan Ahmad Syauqi serta Implementasinya dalam Pelaksanaan Proses Pembelajaran dipertahankan di hadapan promotor Prof Dr H Noeng Muhadjir, Dr H Sukamto MA serta dewan penguji Prof Dr H Muchasin MA, Prof Dr Syamsul Hadi, Dr Sangidu MHum, Prof Dr Sutrisno, MAg dan dipimpin Rektor UIN Prof Dr HM Amin Abdullah. Promovendus meraih predikat sangat memuaskan dan menjadi Doktor ke-172 PPs UIN.
Pihaknya, mengangkat karya kedua tokoh di atas dalam penelitian disertasinya untuk membuktikan pentingnya pendidikan akhlak di sekolah demi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Juwariyah berhasil mengungkap, karya-karya puisi Syafii dan Syauqi banyak mengangkat pesan-pesan pendidikan akhlak yang merujuk kepada kebenaran absolut qurani dan bagaimana pengejawantahannya dalam kehidupan manusia.

Di antaranya tentang nilai kemuliaan sifat jujur, ketulusan hati, kedisiplinan dan kerja keras, kesetiaan, kesabaran, sikap toleran pada sesama, keutamaan sedekah, kepedulian, kerja sama, membina hubungan baik dan kekeluargaan, musyawarah, beriman dan bertakwa kepada Tuhan, mencintai makhluk hidup lain dan lingkungan. Di samping pendidikan akhlak, puisi-puisi kedua tokoh itu juga mengisyaratkan pentingnya pendidikan sopan-santun berbahasa. Karena sifat akhlak mulia, ketundukan, kerendahan hati, selalu lahir dari lisan orang-orang yang memiliki ungkapan kata-kata santun, lembut, indah dan bermakna. Sebaliknya, urai ibu dua anak ini, sikap sombong serta tinggi hati biasanya akan terlahir dari ungkapan bahasa yang kasar, tidak mengenakkan dan sering tidak bermakna.

Dari hasil penelitian disertasi yang dilakukan, menurut Juwariyah bisa diketahui, nilai-nilai pendidikan akhlak yang ditawarkan Syafii pada abad VIII dan Syauqi pada kisaran abad XIX, secara esensial tidak mengalami pergeseran makna yang signifikan serta tidak ada perbedaan yang mendasar, karena memang nilai-nilai yang diangkat, merupakan kebenaran konstan yang berasal dari ajaran langit bersumber dari wahyu Illahi, sehingga eksistensinya abadi dan selalu diperlukan manusia sepanjang zaman. Namun karya-karya kedua tokoh ini, masih belum terimplementasikan dalam pelaksanaan proses pendidikan dan belum teraplikasi secara signifikan dalam sistem pendidikan nasional.
Hal itu, terlihat dari indikator-indikator di lapangan dengan masih banyaknya terjadi tindakan-tindakan menyimpang dari tujuan pendidikan, yakni terbentuknya manusia beriman, berilmu, berakhlak mulia, sejahtera lahir dan batin. (Obi)-s (Sumber: http://222.124.164.132/web/detail.php?sid=160420&actmenu=43)