Siang ini, di sekolah kami, beberapa guru dengan serius memandangi monitor komputer. Apa yang dipandanginya ialah, kotak-kotak yang akan dibubuhi skor dan nilai dalam portal SAS. Namun, antusias itu hilang semua ketika ada server ngak bisa diakses, sas dioffkan sementar. Pengumuman di sekolah kami menyatakan, sas dihentikan akrena ada yang akan dikalkulasi, khususnya kelas 12. Dan, apabila ada nilai raport kelas 12 yang belum tuntas, mak dituntaskan dengan edit manual. Beberap teman guru menggerutu.

Sekolah di Jakarta, khususnya SMA, saya rasa merasakan hal yang sama. Namun, kesamaan tersebut sangat berbeda dengan kepedulian dalam membahas dan mengomentari tentang SAS. Guru di Jakarta seakan “mati rasa” tentang SAS, dan saya melebelkan: “takut”. Saya mencatat ada beberapa yang peduli dengan SAS, terutama mereka yang kontra. Berikut kutipannya:

wrazif: (Dikmenti Dinas Pendidikan Prov. DKI Jakarta telah mewajibkan semua SMA di DKI Jakarta untuk mengadopsi SAS (sistim administrasi sekolah) (tidak gratis) yang menyeragamkan format sistim penilaian (rapor) di DKI tanpa membangun infrastruktur yang memadai. Akibat begitu banyaknya data yang masuk (420 SMA kali sekitar 200 siswa kali 10 mata pelajaran), maka akses data yang dipusatkan di Dikmenti menjadi sangat kacau (hari dan jam akses dibatasi). Kalau begitu lebih efisien dan ekonomis kalau data siswa itu disimpan saja di masing-masing TU sekolah, bisa kapan saja diakses, murah, hemat dan efektif. Bukankah penyeragaman dan penanganan satu tangan ini melanggar prinsip otonomi sekolah dan otonomi guru? Belum lagi sistim ini (SAS) melanggar prinsip PBK (penilaian berbasis kelas) dan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang digaungkan pemerintah pusat (Depdiknas)? Yang lebih lucu lagi, mau apa nilai-nilai itu dikumpulkan di server Dikmenti ? Bukankah nilai 8 di SMA N 6 Bulungan akan sangat berbeda dengan nilai 8 di SMA N 8 Bukit Duri (karena kurikulum yang digunakan berbeda dan soal-soal yang diujikan berbeda). lalu untuk apa data nilai dikumpulkan kalau tak bisa dianalisis? Kalau mau sekedar mencari potret sekolah, lihatlah website depdiknas (www.depdiknas.go.id (http://www.depdiknas.go.id)) lalu klik Peringkat Sekolah. Maunya apa, kalau semua sekolah dipunguti untuk mensukseskan program SAS ini ? SAS ini juga mengacaukan hakekat dari KTSP (Dokumen I : penjabaran visi dan misi sekolah, Dokumen II : pencarian keunggulan dan identitas sekolah serta penyusunan kurikulum yang berbobot (16 langkah KTSP) . Lihat website Depdiknas (www.depdiknas.go.id (http://www.depdiknas.go.id)) lalu klik KTSP atau website dari para guru (www.duniaguru.com (http://www.duniaguru.com)) lalu klik KTSP. Bagaimana sih, kok cara mencari proyek dari Dikmenti begini kasar dan katrok?
wrazif: Sebenarnya ada solusi untuk pengganti SAS yaitu melalui Think.com (komunitas pendidikan on-line) yang didanai oleh Oracle Education Foundation, dimana orang tua, publik, siswa dan guru di seluruh dunia dapat saling berinter-aksi (sifatnya gratis). Tapi kan jadinya, Dikmenti Dinas Pendidikan Prov DKI Jakarta jadi ga punya proyek. Lalu mereka mau makan apa?
antoderman:

Sistem Administrasi Sekolah Online : Merupakan sistem berbasis web yang melakukan administrasi kegiatan belajar dan mengajar

Kenapa SAS disebut asal-asalan?
Guru dapat dengan mudah membeli peta konsep, indikator dan silabus dari Penerbit atau dari toko buku
Dalam penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), guru harus mengikuti 16 langkah penyusunan KTSP secara benar, sebelum dapat melakukan evaluasi dan mengisi rapor.
Sehingga tak ada cara instan bagi seorang guru untuk membuat silabus spt contek silabus guru lain.
Kurikulum KTSP juga terdiri dari Dokumen I dan Dokumen II Yang merupakan penjabaran visi dan misi sekolah dalam kegiatan operasional sehari-hari.

Dengan demikian, dalam KTSP, derajat guru adalah konseptor dan inisiator,

Sedangkan dalam SAS, guru diturunkan pangkatnya menjadi sekedar petugas adminstrasi, bahkan lebih buruk lagi, menjadi sekedar petugas data entry dari kurikulum2 yg dibuatnya sendiri tanpa bisa menjelaskan tujuannya.:eek:

Dengan begitu banyaknya data belajar online di SAS (420 SMA x 200 siswa x 10 mata pelajaran) bisa membuat server “hang”, lalu solusinya adalah : jam akses dibatasi.

Kalau hari dan jam akses dibatasi (yang juga pakainya kudu bayar), alternatifnya jauh lebih baik kalau data-data itu dikumpulkan saja di server masing-masing sekolah, praktis, ekonomi dan cepat saji.

Belum lagi masalah kekacauan data base. Nilai yang di-entry 6, bisa keluar di print out 3,3. Dan kesalahan ini tak bisa diperbaiki oleh pihak sekolah.

Sehingga seluruh data yg mau dicetak harus di re-check lagi, belum lagi kerusakan yang terjadi pada pengertian visi misi dari masing2 kurikulum yg berbeda satu sama lain. (Sumber: http://forum.kompas.com/archive/index.php/t-179.html)