Evaluasi adalah usaha untuk memeriksa apa yang telah dilakukan, salah satu fungsinya untuk menilai proses dan hasil dari sebuah aktivitas. Apa yang ditemukan dari evaluasi, seyogyanya:
Pertama, dijadikan bahan pertimbangan dalam aktivitas berikutnya agar lebih baik lagi, dan
Kedua, setidaknya memberikan kritik yang membangun atau otokritik.

Untuk yang terakhir inilah (kedua), tulisan sederhana ini disajikan. Apa yang akan dievaluasi?. Bagaimana caranya?, dan Apa saja kekurangan evaluasi yang dilakukan?. Yang akan dievaluasi adalah sebuah sistem persekolahan SMA terkait penggunaan SAS Online. Cara evaluasi adalah memberikan pandangan, baik itu positif maupun negatif, diusahakan seberimbang mungkin, dan karenanya, segi subyektif nampaknya menjadi kekurangan evaluasi ini. Namun demikian, potret perjalanan SMA-SAS online dapat terlihat. Selamat membaca!.

Awal
Sejak tahun 2005 akhir, SMA tempatku mendidik siswa/i, sibuk dengan sebuah program baru: SAS Offline. Fasilitator kami ialah seorang guru di daerah Ragunan, beliaulah yang mengajarkan kami teknis SAS Ofline yang amat sulit. Sore, bahkan malam kami sempatkan demi jalannya program Dinas ini, terlebih kami ingin menjadi bagian dari guru yang tanggap teknologi.

Juli 2006, TA.2005/2006, SAS Offline kemudian di-Online-kan. Sementara itu, kami sibuk dengan proses percetakan raport Offline yang luar biasa menyita waktu dan kesal. Kedua-duanya berhubungan, karena guru lainnya menyerahkan pekerjaannya kepada kami yang ketika itu hanya berjumlah 3 orang, dan kami juga harus belajar ke tempat lain. Pulang hingga malam hari, bahkan inap kami lakoni. Saya bergumam:”gila, kerjaan satu sekolah, diserahkan ke kita (3 orang)”. Perubahan dari manual ke komputer, banyak mengagetkan guru-guru, terutama guru yang gaptek, malas, dan “guru asal” (asal ngajar, asal masuk, dan asal nilai). Hampir seluruhnya “menolak” dengan alasan ribet, sulit, lama, tidak praktis, dan seterusnya. Pada bagian awal ini, rapor manual dengan tulisan tangan mulai terpinggirkan oleh cetak komputer.

SAS Online
Antara bulan Agustus-Desember, kami bergabung dengan portal pendidikan yang online, SAS Online. Dalam potal ini, banyak bagain2nya, dan yang aktif hanya SAS. SAS singkatan dari Sistem Administrai Sekolah, yang berusaha memfasilitasi administrasi sekolah secara keseluruhan dan dapat diakses melalui internet. Sampai sekarang ini, user guru baru dapat menggunakan proses penilaian saja. Dalam proses ini mencakup pendaftaran rencana pembelajaran, dan pelaporan pelaksanaan pembelajaran. Disamping itu, masih dalam bagian yang sama, terdapat pula absensi, dan bank data siswa serta sekolah. Portal ini banyak diminati banyak SMA di Jakarta, dan karenanya akselerasi SAS selalu berjalan lamban, terutama diakhir masa pengentrian skor. Tidak jarang ditemui, SAS error. User berteriak: “SAS lemot!!!”.

Diluar itu semua, sekolah terfasilitasi dengan adanya SAS, khususnya proses percetakan raport. Namun, penyimpanannya dikembalikan kepada sekolah masing-masing. Kemungkinan, portal SAS tidak mampu menyimpan data yang sedemikian banyak, SAS seakan menjadi mesin hitung saja: “numpang lewat”. Dan, ini berlangsung selama 3 tahun, walaupun ada perbedaannya. Tahun pertama, SAS lama, tahun kedua, SAS lemot buanget, dan sekarang SAS,..masih lama, sedikit lebih baik dari tahun lalu. Katanya ada penambahan server…

Guru DKI Jakarta
Pihak pengembang SAS DKI yang digawangi A***, seringkali menyangkutkan lambannya SAS dengan budaya kerja Guru DKI Jakarta. Menurutnya, kebiasaan guru yang menunda-nunda pekerjaan dan menumpuk pekerjaan lalu mengerjakannya diakhir percetakan raport menyebabkan SAS berjalan lambat. Bilama ini benar, dengan kata lain terlalu banyak guru di Ibu Kota Negara ini yang amat buruk dalam manajeman waktu. Saya kira, cukup rasional kemudian pendidikan SMA di Jakarta selalu tertinggal dengan provinsi lain, Yogya misalnya.

Berdasarkan pengalaman yang ditemui dan hasil dengar pendapat rekan2 guru disaat pelatihan, ternyata benar anggapan Aida tersebut. Guru DKI Jakarta, banyak yang tergolong: pemalas. Citra PNS yang kerjanya payah, juga melekat di PNS Guru. Yang parahnya lagi, mereka tidak mau belajar dari sejarah. Aku bergumam: “dah tau SAS lemot saat mau cetak raport, masih saja ngentri belakangan”. Ternyata gaji sampai lebih dari 3 juta sebulan bagi guru PNS, tidak mampu membuatnya untuk bekerja lebih baik. Payah.

Seharusnya, dan yang Tertinggal….
Sebagai sebuah sistem, berbagai elemen harus berfungsi sebagaimana mestinya. Portal SAS seharusnya didukung penuh oleh Dinas Dikmenti DKI Jakarta dengan menyediakan server yang lebih besar. Ketidakmampuan SAS dalam menampung data yang sedemikian banyak, tampaknya SAS ini sebagai “proyek percobaan” yang para petingginya banyak yang tidak menyetujui. Selanjutnya, guru harus diberdayakan agar memiliki manajeman waktu yang baik, pendeknya: jadi professional.

Disamping itu, bagi saya, perubahan yang dibawa SAS Online ini terbilang baik, karena hampir seluruh guru DKI Jakarta jadi melek komputer sekaligus internet. Usaha bertahun-tahun Dikmenti agar guru tanggap teknologi IT terbayar sudah, bahkan hanya melalui SAS 1-2 tahun saja. Namun, tampaknya tim pengembang SAS tidak menyiapkan strategi dalam merespon dampak yang terjadi disaat proses perubahan itu terjadi. Misalnya, raport SAS yang hadir 4-5 tahun belakangan ini banyak yang “aspal”. Anak didik sebenarnya tidak memiliki potret hasil belajar yang optimal, karena guru entri skornya asal-asalan, baik itu ketidakmengertian sistem penskoran yang baru, maupun kebiasaan kerja kebut sehari. Ada kalanya, guru ‘memukul rata” skor untuk SK/KD tertentu, dan karena seringnya guru perempuan pulang malam, maka kemudian dikenal dengan “perempuan malam”.

Keoptimisan hadir dalam lingkaran sistem ini, karena tidak sedikit guru yang komitmen dengan perubahan paradigma pendidikan sekarang. Saya pikir pola yang menggunakan internet jangan dihapuskan. SAS-pun demikian, kecuali sudah tidak dibutuhkan lagi, dan tentunya merugikan anak didik. Lalu,…adakah yang berani melakukan penelitian secara ilmiah tentang SAS dan jujur?, saya kira guru DKI Jakarta tidak akan mau. Sederhana alasannya, karena tidak mau mencari masalah, dan keadaan sekarang dengan gaji yang besar sudah terbilang mapan, nyaman. Kritisasi ditinggalkan, yang penting gaji lancar.

Tampaknya, keikutsertaan guru DKI selama 3 tahun dalam sistem SAS, lebih buanyak bukan karena keinginan merubah paradigma pendidikan melalui tanggap IT (SAS Online), namun lebih kepada hanya mengikuti instruksi atasan. Benarkah?, atau keliru?, silahkan berpendapat.

—————————–

Catatan:
Ini adalah pendapat pribadi, tanpa mewakili intitusi. Boleh jadi bersifat subyektif, namun inilah yang setidaknya saya temui, alami, dan karenanya saya jadikan alat untuk membangun pendapat seperti tulisan di atas.